KumpalanNEWS – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan keprihatinan serius atas keputusan Amerika Serikat (AS) untuk menangguhkan bantuan dana bagi penyediaan obat HIV di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Kebijakan ini dinilai dapat mengancam upaya penanggulangan HIV di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Menurut laporan Reuters, mitra kerja dan penerima hibah dari Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) telah menerima pemberitahuan untuk menghentikan aktivitas mereka mulai Selasa, 27 Januari 2025.
Langkah ini merupakan bagian dari kebijakan Presiden AS Donald Trump yang membekukan hibah, pinjaman, dan bantuan keuangan luar negeri selama tiga bulan ke depan. Trump bahkan mengisyaratkan kemungkinan menarik AS dari keanggotaan WHO.
Sebagai penyumbang terbesar WHO, AS memberikan sekitar 20% dari total anggaran tahunan organisasi tersebut yang mencapai 6,8 miliar dolar AS.
Meski kebijakan ini tidak berdampak langsung pada WHO di Indonesia, berbagai organisasi nonpemerintah (NGO) yang bergerak di lapangan telah mulai merasakan efeknya.
WHO telah meminta pemerintah AS memberikan “pengecualian” bagi program-program yang menyediakan obat antiretroviral (ARV), yang harus dikonsumsi setiap hari oleh penderita HIV untuk menekan perkembangan virus.
WHO juga menyoroti program Rencana Darurat Presiden AS untuk Penanggulangan AIDS (PEPFAR), yang mendukung upaya penanggulangan HIV di 50 negara, termasuk Indonesia.
Berdasarkan data WHO per akhir 2023, sekitar 39,9 juta orang di dunia hidup dengan HIV dan bergantung pada obat ARV. Penghentian bantuan AS ini dikhawatirkan akan mengganggu akses terhadap obat-obatan penyelamat hidup tersebut.
Dampak terhadap Indonesia
Meski tidak sepenuhnya bergantung pada bantuan AS, Indonesia tetap merasakan dampak dari kebijakan ini.
Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), mengungkapkan bahwa sebagian besar program HIV di Indonesia didanai oleh donor asing, termasuk AS.
Aditya juga menyoroti potensi dampak kebijakan Trump terhadap pendekatan isu gender dalam program penanggulangan HIV di Indonesia.
“Dalam pidato inagurasinya, Trump secara eksplisit menyatakan bahwa kebijakan AS hanya mengakui dua gender: laki-laki dan perempuan. Padahal, program penanggulangan HIV di Indonesia sangat berkaitan dengan komunitas transgender, yang memiliki prevalensi HIV cukup tinggi,” ujarnya.
Langkah Antisipasi Pemerintah Indonesia
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui bahwa penghentian bantuan medis AS dapat berdampak signifikan pada Indonesia. Selain HIV, kebijakan ini juga mencakup penghentian bantuan untuk obat tuberkulosis (TBC) dan malaria.
Namun, Budi menegaskan bahwa Indonesia telah mulai mengurangi ketergantungan pada dana hibah AS dengan menjalin kerja sama dengan negara lain, seperti Arab Saudi dan India.
“Amerika memang membekukan semua bantuan, dan Indonesia juga terdampak. Beruntungnya, sumber hibah kita sudah lebih beragam, tidak hanya dari AS. Itu sebabnya Pak Prabowo sudah mengalokasikan dana dari APBN untuk menutupi kebutuhan, misalnya dalam penanggulangan tuberkulosis,” jelas Budi saat ditemui di RS Harapan Kita, Kamis 30 Januari 2025.
Budi juga menyatakan bahwa dampak penghentian bantuan ini tidak hanya dirasakan langsung melalui lembaga AS seperti CDC, tetapi juga secara tidak langsung melalui WHO dan Gavi, yang masih bergantung pada pendanaan AS.
Saat ini, Kementerian Kesehatan tengah mengevaluasi dampak pembekuan hibah AS serta mencari alternatif sumber pendanaan lain. Dalam waktu dekat, Budi berencana mengunjungi Australia untuk menjajaki kemungkinan tambahan bantuan guna mendukung kebutuhan pengobatan pasien HIV di Indonesia.
“Insya Allah minggu depan saya akan ke Australia untuk melihat apakah ada tambahan bantuan dari sana yang bisa membantu kita,” tutup Budi.
Dengan kebijakan AS yang terus berkembang, dunia kesehatan global, termasuk Indonesia, dihadapkan pada tantangan baru dalam memastikan akses obat-obatan esensial bagi jutaan orang yang membutuhkan.***